Problematika Keimanan

MAKALAH
PSIKOLOGI AGAMA
PROBLEMATIKA KEIMANAN

Dosen pengampu : Dr. Yeni Huriyani, M.Hum









 












Disusun Oleh  :
                                                             Kelompok 6       
          Rahma Dalilah                   (1161020051)
         Ramadhan Heri Sandria     (1161020052)
         Siti Fatkiyah                       (1161020066)





JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

 2017






Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang Problematika Keimanan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu , kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki masalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang Problematika Keimanan dapat menjadi tolak ukur keimanan pembaca



Bandung, 31 oktober 2017


Penyusun 









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
                        B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
  A. Pengertian Problematika Keimanan.................................................... 2
  B. Bagaimana sikap keagamaan dan pola tingkah laku........................... 3
  C. Bagaimana sikap keagamaan yang menyimpang…………………….5
  D. Apa saja faktor-faktor penyebab problematika keimanan.................. 7
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 11
 A. KESIMPULAN................................................................................. 11
DAFTARPUSTAKA…………………………………………………………………...12

 BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan fakor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homoreligius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.  
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian problematika keimanan ?
2.      Bagaimana sikap keagamaan dan pola tingkah laku ?
3.      Bagaimana sikap keagamaan yang menyimpang ?
4.      Apa saja faktor-faktor penyebab problematika keimanan ?
C.     Tujuan
1.      Memahami pengertian problematika keimanan,
2.      Memahami sikap keagamaan dan pola tingkah laku,
3.      Memahami sikap keagamaan yang menyimpang,
4.      Memahami faktor-faktor penyebab problematika keimanan.






BAB II
PEMBAHASAN
A.     Problematika Keimanan
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
            Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konotatif. Jadi sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
            Beranjak dari kenyataan yang ada, maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Memang dalam kajian psikologi agama, beberapa pendapat menyetujui akan adanya potensi beragama pada diri manusia. Manusia dalam homo religius (makhluk beragama). Namun potensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang mengenalkan seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus dituruti dan dilaksanakan.
            Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
            Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung teori tersebut mendorong manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan yang kemudian dikenal dengan agama.
            Betapapun kedua pendekatan itu tampak seakan berbeda, namun keduanya tak mengingkari bahwa secara psikologis manusia sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh psikologis ini pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan manusia baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam kehidupan manusia sebagai individu pengaruh psikologis itu membentuk keyakinan dalam dirinya dan menampakkan pola tingkah laku sebagai realisasi dari keyakinan tersebut. sedangakan dalam kehidupan sosial keyakinan dan pola tingkah laku tersebut mendorong manusia untuk melahirkan norma-norma dan pranata keagamaan sebagai pedoman  dan sarana kehidupan beragama dimasyarakat.

B.     Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
     Mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi efektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar`at:19). Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. Obyek sikap oleh Edwards disebut sebagai  psychological object. (Mar`at:21).
      [1]Menurut Prof.Dr.Mar`at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh malalui pengalaman dan interaksi yang terus –menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitides have referent).
3.      Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadat ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes are social learnings).
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek(attitudes have readiness to respond).
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan efektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes are effective).
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes are very intensive).
7.      Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have a time dimension).
8.      Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factot).
9.      Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are complex).
10.  Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.  Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
      Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi  untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks (Mar`at:20-22).
       Merujuk kepada rumusan diatas terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, efeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek, baik yang berbentuk kongkret maupun obyek yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek (senang atau tidak senang).sedangkan komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek (Mar`at:21). Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek.
       Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, efeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan proses, sebab pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
       Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap obyek ditentukan oleh pengaruh faal, kepribadian dan faktor eksternal: situasi, pengalaman dan hambatan (Mar`at:22). Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut , yaitu pengaruh faal, kepribadian dan faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas konsep evaluasi berkenaan dengan obyek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Sedangkan menurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi efektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan reaksi efektif bersifat tertutup (cover), tulis Mar`at(Mar`at:17).
       Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif, atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt behaviour) pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi biasanya akan menjadi lebih stabil. Pada tingkat tertua motif akan berperan sebagai central attitude yang akhirnya akan membentuk predisposisi. Proses ini terjadi dalam diri seseorang terutama pada tingakat usia dini. Predisposisi menurut Mar`at merupakan sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri (Mar`at:18). Dalam hubungan ini tergambar bagaimana hubungan pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat menghasilkan bentuk pola tingakah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
       Para ahli didik melihat adanya peran sentral para orang tua sebagai pemberi dasar jiwa keagamaan itu. Pengenalan ajaran agama kepada anak sejak usia dini bagaimanapun akan berpengaruh dalam membentuk kesadaran dan pengalaman agama pada diri anak. Karenanya, Rasul menempatkan peran orang tua pada posisi sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak. Setiap anak dilahirkan atas fitrah dan tanggung jawab kedua orang tualah untuk menjadikan anak itu Nasrani, Yahudi atau Majusi (Muhammad al-Toumy al-Syaibani, 1979:141).
       Pernyataan tersebut melukiskan bagaimana fungsi dan peran ibu-bapak dalam keluarga terhadap pembentukan jiwa keagamaan pada diri anak. Pandangan ini merujuk kepada adanya potensi bawaan manusia yaitu fitrah, yang diartikan sebagai potensi untuk bertauhid. Barangkali kenyataan bahwa manusia memang memiliki potensi psikis ini mulai disadari oleh para psikolog. Kajian psikologi transpersonal berpendapat bahwa jika keagamaan sebagai potensi dan daya psikis manusia. Mereka mengajui adanya potensi-potensi luhur (the highest potensials) dan fenomena juga mencoba melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus (Hanna Djumhana Bastaman:53-54).
      Telaah psikologi dan psikologi agama tampaknya  sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian menempatkan potensi dan daya psikis tersebut  sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh suatu kesadaran baru mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia.
       Berangkat dari telaah dan pandangan tersebut akan membawa pada kesimpulan bahwa jika keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern dan psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya tak lebih dari usaha untuk membunuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis dimaksud. Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana usaha yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat potensi yang luhur tersebut.
      [2] Menurut Gordon Allport, bahwa memang manusia memiliki sifat-sifat dasar atau tabiat yang sama. Sifat-sifat dasar ini ditampilkan dalam sikap yang secara totalitas terlihat sebagai ciri-ciri kepribadian individu dan kemudian terangkum dalam sikap kelompok. Adanya perbedaan individu pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi masing-masing  (Philip G.Zimbardo,1979:296).
      Merujuk kepada temuan ini, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.



C.     Sikap Keagamaan yang Menyimpang
      Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural. Dengan demikian sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan dimaksud.
      Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi .
      Sikap keagamaan menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat . sedangakan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar`at:17). Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu berkondisi buruk.
      Sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaharuan, seperti halnya Martin Luther. Demikian pula Sidharta Gautama yang meninggalkan agama Hindu kemudian menjadi pelopor lahirnya agama Budha. Keduanya merupakan contoh dari sekian banyak kasus sikap keagamaan yang menyimpang, namun yang positif.
      Selain itu tak kurang pula kasus-kasus negatif yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang ini. Sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalis maupun sikap menentang merupakan sikap keagamaan yang menyimpang. Seseorang atau kelompok penganut suatu agama mungkin saja bersikap kurang toleran terhadap agama lain, ataupun aliran lain yang berbeda dari aliran agama yang dianutnya. Demikian pula misalnya terjadi sikap fanatik yang menyebabkan seseorang atau kelompok beranggapan bahwa hanya agama yang dipeluknya saja sebagai yang paling benar. Selain itu dapat pula terjadi sikap yang fundamentalis berupa sikap menentang terhadap agama yang berbeda dengan agama yang mereka anut.
      Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) hingga ke sikap yang demonstratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama. Perseteruan antar agama yang terjadi seperti peristiwa Perang Salib, munculnya gerakan IRA di Inggris (Irlandia Utara), hingga ke aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya Children of God di Amerika maupun sekte kiamat di Jepang yang menamakan kelompoknya Aum Shinrikyo (Kebenaran Tertinggi) baru-baru ini.
       Selain dalam bentuk kelompok, sikap keagamaan yang menyimpang juga dapat terjadi pada orang per orang. Dan biasanya sikap keagamaan yang menyimpang dalam bentuk kelompok aliran ataupun sekte biasanya berawal dari pengaruh sikap seorang tokoh. Seorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingakt pikir yang transenden (Kasmiran Wuryo:104).
       Masalah yang menyangkut sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan adalah tingkat pikir manusia dalam megalami proses berpikir yang telah dapat membebaskan manusia dari segala unsur-unsur yang terdapat di luar pikirannya. Sedangkan keyakinan adalah suatu tingkat pikir yang dalam proses berpikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurnaan proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat diluar jangkauan pikir manusia (Kasmiran Wuryo:104). Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara emperik sulit dibuktikan secara nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu pengaruh yang ditimbulkannya terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis. Pengaruh tingkat pikir ini memang memiliki variasi yang luas misalnya aliran seperti sekularisme, liberalisme, sosialisme, fasisme, materialisme, dan sebagainya. Tetapi diluar itu ada juga pengaruh terhadap tingkat pikir yang lain seperti totimisme, magico, mistisisme, animisme, dinamisme, polytheisme maupun monotheisme. Tingkat pikir yang kedua ini disebut dengan tingkat pikir atau tingkat berpikir transendental religius (Kasmiran Wuryo:105)
       Sikap keagmaan  yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat memberinkepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat pikir tersebut mencapai tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri orang per orang (individu) maupun kelompok ataupun masyarakat. Sebab sikap memiliki  sasaran tertentu baik kongkret maupun abstrak (Mar`at:18).
       Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tak jarang ikut mempengaruhi politik suatu negara, jika sikap menyimpang tersebut sudah mempengaruhi sikap sosial. Lebih-lebih jika menyimpang tersebut sudah mencapai tingakat intensitas ekstern negatif, karena kualitas dan intensitas sikap yang menggambarkan konotasi komponen efeksi cenderung mengarah kepada tingkah laku yang berdasarkan kualitas nasional (Mar`at:17). Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional

D.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang
       Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk tingkah laku nyata (overt behavior) maupun tingakah laku tertutup (cover behavior). Dengan demikian sikap mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubumg. Karena sikpa diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit (Mar`at:18).
       Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan perubahan sikap. Beberapa teori psikologis mengungkapkan perubahan sikap tersebut anatara lain teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, teori konsistensi dan teori fungsi (Mar`at:26-47). Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
       Teori stimulus dan respons yang memandang manusia sebagai organimisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variabel yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan (Mar`at:27). Mengacu kepada teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian terhadap sesuatu obyek dan memahami obyek dimaksud serta menerimanya, maka akan terjadi perubahan sikap. Obyek itu sendiri menurut teori ini harus difungsikan sebagai stimulus agar dapat merespons perhatian, pengertian serta penerimaan oleh seseorang atau kelompok. Jadi perubahan sikap sepenuhnya bergantung pada kemampuan lingkungan untuk menciptakan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons. Hal ini menunjukkan untuk mengubah sikap diperlukan kemampuan untuk merekayasa obyek sedemikian rupa hingga menarik perhatian, memberi pengerian hingga dapat diterima.
       Dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang menyimpang maka pengaruh stimulus yang relavan adalah segala bentuk obyek yang berhubungan dengan keagamaan. Misalnya saja didalam suatu masyarakat muncul aliran-aliran keagamaan tertentu yang berbeda dengan tradisi keagamaan yang berjalan. Kehadiran aliaran tersebut kemudian menarik perghatian sehingga terdorong untuk mengetahuinya lebih jauh. Hasil dari proses itu kemungkinan dapat memberi pengertian baru bagi mereka yang terlibat. Bila ada diantara yang ikut terlibat mempelajari aliran tersebut merasa ada manfaat bagi dirinya, mereka akan menerimanya sedangkan bagi yang menggapnya tidak bermanfaat akan menolaknya. Kelompok yang pertama biasanya akan melangkah ke tingkat penerimaan dengan demikian akan terjadi perubahan pada diri mereka dalam menyikapi aliran baru yang mereka terima itu. Dilihat dari sudut tradisi keagamaan yang berlaku, sikap mereka ini dapat dikelompokkan sebagai sikpa keagamaan yang menyimpang.
       Selanjutnya teorin kedua yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah: 1)persepsi sosial; 2)posisi sosial dan proses belajar sosial. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas: 1)faktor penguatan (reinforcement); 2)komunikasi persuasif; dan 3) harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosial sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal (Mar`at:35-36).
       Perubahan sikap dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang menyimpang merujuk kepada teori pertimbangan sosial ini tampaknya menyangkut faktor status sosial seseorang dalam masyarakat. Penyimpangan sikap keagamaan yang dipengaruhi oleh status sosial ini cenderung dilatarbelakangi harapan untuk mengembalikan kedudukan didalan masyarakat. Misalnya seseorang yang semula dihormati dalam masyarakat kemudian mendapat saiangan dari tokoh lain. Karena kalah dalam persaingan tersebut pandangan masyarakat beralih kepada tokoh pendatang baru. Maka untuk mengembalikan status yang pernah diperolehnya kemungkinan besar ia cenderung untuk melakukan suatu yang menyimapng guna menarik kembali perhatian masyarakat, yaitu untuk mengisi kekosongan wibawa yang hilang.
       Dialin pihak kemungkinan pula sikap keagamaan yang menyimpang ditampilkan seseorang tokoh dalam masyarakat dalam bentuk positif, atas dasar pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak. Sikap keagamaan yang menyimpang seperti ini terlihat dalam kasus pembaharuan pemikiran agama keagamaan. Para tokoh reformer (munjaddid) umumnya menampilkan sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang berjalan dimasyarakat. Sikap keagamaan yang menyimpang seperti ini dalam sejarah keagamaan umumnya diakhiri dengan munculnya kelomp[ok baru yang mampu mengubah tatanan tradisi keagamaan yang ada. Beberapa contoh yang mengacu kepada kasus ini antara lain seperti yang dilakukan oleh Sidharta Gautama, Martin Luther, Kaisar Konstantin, dan sejumlah tokoh pembaharuan dalam pemikiran keagamaan lainnya.

Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebi ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Oleh karena itu teori konsistensi ini oleh Fritz Heider disebut balance theory (Mar’at:37), Osgood dan Tannenbaum menamakan conguity (keharmonisan), Festinger menyebutkan cognitive dissonance, serta Brohm menamakannya reactance (Mar’at:37-47). Walaupun berbeda dalam penamaan, namun intisari dari teori konsistensi ini adalah bahwa perubahan sikap merupakan proses yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk mendapatkan keseimbangan antara sikap dan perbuatan. Berdasarkan berbagai pertimbangan, maka seseorang kemudian memilih sikap tertentu sebagai dasar untuk bereaksi atau bertingkah laku.
Dalam kehidupan keagamaan barangkali perubahan sikap ini berhubungan dengan konversi agama. Seseorang yang merasa bahwa apamyang dilakukan sebelumnya adalah keliru, berupaya untuk mempertimbangkan sikapnya. Pertimbangan tersebut melalui proses dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
1.      Munculnya pesoalan yang dihadapi.
2.      Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
3.      Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
4.      Terjadi keseimbangan.
Perubahan sikap seperti ini menurut Heider dilatar belakangi oleh perasaan senang dan tidak senang, sedangkan Osgood dan Tannenbaum menekankan pada penyamaan persepsi, Festinger lebih menekankan pada peran Kognitif seperti halnya Brohm. Mengacu kepada teori ini perubahan sikap yang meyangkut kehidupan beragama dapat terjadi oleh karena adanya pengaruh dalam diri seseorang, pengaruh tersebut menimbulkan persoalan hingga terjadi ketidak seimbangan dalam batinnya. Untuk mengembalikan agar terjadi keseimbangan seperti semula, maka dilakukan pemilihan dari berbagai alternatif yang memungkinkan. Pemilihan alternatif dapat didasarkan atas pertimbangan aspek efektif maupun kognitif. Pilihan yang terbaik biasanya adalah yang paling cocok dan dapat memberi kestabilan pada diri seseorang. Kondisi tersebut dapat menimbulkan keharmonisan dan keseimbangan.
Perubahan sikap yang dihubungkan dengan sikap keagamaan yang menyimpang menurut teori konsistensi ini terdapat dalam kasus-kasus konversi agama. Konversi pada dasarnya bersumber dari konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik tadi pada tingkat tertentu menimbulkan semacam kegelisahan batin sebagai persoalan yang harus mendapat pemecahan. Selanjutnya timbul beberapa kemungkinan untuk dijadikan pertimbangan dalam menemukan jalan keluar. Pemilihan jalan keluar yang cocok dan tepat biasanya adalah yang paling dapat memberikan ketenangan batin bagi yang bersangkutan.
Menurut teori fungsi perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya (Mar’at:49). Katz berpendapat bahwa sikap memiliki empat fungsi, yaitu:1) fungsi instrumental; 2) fungsi pertahanan diri; 3) fungsi penerima dan pemberi arti; dan 4) fungsi nilai ekspresif.
Berdasarkan fungsi instrumental, manusia dapat membentuk sikap positif maupun negatif terhadap obyek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerima dan pemberi arti berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya fungsi nilai ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar bagaiman sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu.
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyeimbangan diri dengan lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.     















                                       BAB III
                                     PENUTUP
Kesimpulan
Problematika keimanan adalah perbedaan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang terjadi mengenai sesuatu yang menyangkut keimanan seseorang. Faktor penyebab problematika keimanan, antara lain sebagai berikut:
1.      Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah:
a.       Persepsi sosial;
b.      Posisi sosial dan proses belajar sosial.
            2.  Faktor eksternal terdiri atas:
a.       Faktor penguatan (reinforcement);
b.      Komunikasi persuasif; dan 3) harapan yang diinginkan




















                                 DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta : RajaGrafindo persada





[1] Psikologi agama,hlm.187
[2] Ibid, hlm.191




Komentar