Problematika Keimanan
MAKALAH
PSIKOLOGI AGAMA
PROBLEMATIKA KEIMANAN
Dosen pengampu : Dr. Yeni Huriyani, M.Hum
Disusun Oleh :
Kelompok
6
Rahma
Dalilah (1161020051)
Ramadhan Heri Sandria (1161020052)
Siti Fatkiyah (1161020066)
JURUSAN
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tentang Problematika Keimanan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu , kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki masalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang
Problematika Keimanan dapat menjadi tolak ukur keimanan pembaca
Bandung, 31 oktober 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
A. Pengertian
Problematika Keimanan.................................................... 2
B. Bagaimana
sikap keagamaan dan pola tingkah laku........................... 3
C. Bagaimana
sikap keagamaan yang menyimpang…………………….5
D. Apa saja
faktor-faktor penyebab problematika keimanan.................. 7
BAB
III PENUTUP........................................................................................................ 11
A. KESIMPULAN................................................................................. 11
DAFTARPUSTAKA…………………………………………………………………...12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama menyangkut kehidupan batin
manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih
menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu
yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula
kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Pada garis besarnya teori
mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan fakor
ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homoreligius
(makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek
kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan
sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor
mana yang paling dominan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian problematika keimanan
?
2.
Bagaimana sikap keagamaan dan pola
tingkah laku ?
3.
Bagaimana sikap keagamaan yang
menyimpang ?
4.
Apa saja faktor-faktor penyebab
problematika keimanan ?
C.
Tujuan
1.
Memahami pengertian problematika keimanan,
2.
Memahami sikap keagamaan dan pola
tingkah laku,
3.
Memahami sikap keagamaan yang
menyimpang,
4.
Memahami faktor-faktor penyebab
problematika keimanan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Problematika
Keimanan
Agama
menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan
pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan
yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran
agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang
ditampilkan seseorang.
Sikap
keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konotatif. Jadi sikap
keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama,
perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan
bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
Beranjak
dari kenyataan yang ada, maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu
faktor intern dan faktor ekstern. Memang dalam kajian psikologi agama, beberapa
pendapat menyetujui akan adanya potensi beragama pada diri manusia. Manusia
dalam homo religius (makhluk beragama). Namun potensi tersebut memerlukan
bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang
mengenalkan seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus
dituruti dan dilaksanakan.
Pada
garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari
faktor intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan
bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama) karena manusia sudah
memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber faktor intern
manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal,
perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih
berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
Sebaliknya
teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari faktor
ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya,
seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt).
Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung teori tersebut mendorong manusia
menciptakan suatu tata cara pemujaan yang kemudian dikenal dengan agama.
Betapapun
kedua pendekatan itu tampak seakan berbeda, namun keduanya tak mengingkari
bahwa secara psikologis manusia sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh
psikologis ini pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan
manusia baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam
kehidupan manusia sebagai individu pengaruh psikologis itu membentuk keyakinan
dalam dirinya dan menampakkan pola tingkah laku sebagai realisasi dari
keyakinan tersebut. sedangakan
dalam kehidupan sosial keyakinan dan pola tingkah laku tersebut mendorong
manusia untuk melahirkan norma-norma dan pranata keagamaan sebagai pedoman dan sarana kehidupan beragama dimasyarakat.
B.
Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasan
mengenai sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian
mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai
seperangkat reaksi-reaksi efektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil
penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar`at:19). Dengan demikian
sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai
pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek
tertentu. Obyek sikap oleh Edwards disebut sebagai psychological object. (Mar`at:21).
[1]Menurut
Prof.Dr.Mar`at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13
pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11
rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa:
1. Sikap
merupakan hasil belajar yang diperoleh malalui pengalaman dan interaksi yang
terus –menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2. Sikap
selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide
(attitides have referent).
3. Sikap
diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat
ibadat ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes
are social learnings).
4. Sikap
sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap
obyek(attitudes have readiness to respond).
5. Bagian
yang dominan dari sikap adalah perasaan dan efektif seperti yang tampak dalam
menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes are
effective).
6. Sikap
memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes
are very intensive).
7. Sikap
bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu
mungkin sesuai sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes
have a time dimension).
8. Sikap
dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes
have duration factot).
9. Sikap
merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes
are complex).
10. Sikap
merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan
(attitudes are evaluations).
11. Sikap
merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna,
atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang
terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi.
Dengan demikian sikap merupakan
interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks (Mar`at:20-22).
Merujuk kepada rumusan diatas terlihat bagaimana hubungan sikap dengan
pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, efeksi dan
konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap
seseorang terhadap sesuatu obyek, baik yang berbentuk kongkret maupun obyek
yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau
dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi
dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek (senang atau tidak
senang).sedangkan komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan
untuk bertindak terhadap obyek (Mar`at:21). Dengan demikian sikap yang
ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa dan
pemilihan motif-motif tertentu
sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek.
Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh
keterkaitan komponen kognisi, efeksi, dan konasi seseorang dengan
masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak
ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan proses, sebab
pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan
pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada
faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap obyek ditentukan oleh
pengaruh faal, kepribadian dan faktor eksternal: situasi, pengalaman dan
hambatan (Mar`at:22). Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut , yaitu
pengaruh faal, kepribadian dan faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap
didasarkan atas konsep evaluasi berkenaan dengan obyek tertentu, menggugah
motif untuk bertingkah laku. Sedangkan menurut pandangan psikologi, sikap
mengandung unsur penilaian dan reaksi efektif sehingga menghasilkan motif.
Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan reaksi
efektif bersifat tertutup (cover), tulis Mar`at(Mar`at:17).
Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan
hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga
pendorong arah sikap negatif, atau positif akan terlihat dalam tingkah laku
nyata (overt behaviour) pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan
motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat diperkuat oleh
komponen afeksi
biasanya akan menjadi lebih stabil. Pada tingkat tertua motif akan berperan
sebagai central attitude yang akhirnya akan membentuk predisposisi.
Proses ini terjadi dalam diri seseorang terutama pada tingakat usia dini.
Predisposisi menurut Mar`at merupakan sesuatu yang telah dimiliki seseorang
semenjak kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri (Mar`at:18). Dalam
hubungan ini tergambar bagaimana hubungan pembentukan sikap keagamaan sehingga
dapat menghasilkan bentuk pola tingakah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Para ahli didik melihat adanya peran sentral para orang tua sebagai
pemberi dasar jiwa keagamaan itu. Pengenalan ajaran agama kepada anak sejak
usia dini bagaimanapun akan berpengaruh dalam membentuk kesadaran dan
pengalaman agama pada diri anak. Karenanya, Rasul menempatkan peran orang tua
pada posisi sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku
keagamaan seorang anak. Setiap anak dilahirkan atas fitrah dan tanggung jawab
kedua orang tualah untuk menjadikan anak itu Nasrani, Yahudi atau Majusi
(Muhammad al-Toumy al-Syaibani, 1979:141).
Pernyataan tersebut melukiskan bagaimana fungsi dan peran ibu-bapak
dalam keluarga terhadap pembentukan jiwa keagamaan pada diri anak. Pandangan
ini merujuk kepada adanya potensi bawaan manusia yaitu fitrah, yang diartikan
sebagai potensi untuk bertauhid. Barangkali kenyataan bahwa manusia memang memiliki
potensi psikis ini mulai disadari oleh para psikolog. Kajian psikologi
transpersonal berpendapat bahwa jika keagamaan sebagai potensi dan daya psikis
manusia. Mereka mengajui adanya potensi-potensi luhur (the highest
potensials) dan fenomena juga mencoba melakukan telaah ilmiah terhadap
suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan dan
mistikus (Hanna Djumhana Bastaman:53-54).
Telaah psikologi dan psikologi
agama tampaknya sudah mulai menyadari
potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual.
Kemudian menempatkan potensi dan daya psikis tersebut sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan
manusia. Selain itu mulai tumbuh suatu kesadaran baru mengenai hubungan antara
potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia.
Berangkat dari telaah dan pandangan tersebut akan membawa pada
kesimpulan bahwa jika keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen
intern dan psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada
hakikatnya tak lebih dari usaha untuk membunuh dan mengembangkan potensi dan
daya psikis dimaksud. Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana
usaha yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat
potensi yang luhur tersebut.
[2]
Menurut Gordon Allport, bahwa memang manusia memiliki sifat-sifat dasar atau
tabiat yang sama. Sifat-sifat dasar ini ditampilkan dalam sikap yang secara
totalitas terlihat sebagai ciri-ciri kepribadian individu dan kemudian
terangkum dalam sikap kelompok. Adanya perbedaan individu pada dasarnya
disebabkan oleh adanya perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi
masing-masing (Philip
G.Zimbardo,1979:296).
Merujuk kepada temuan ini, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang
merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah
dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan
tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila
situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang
prinsipil, yaitu ketauhidan.
C. Sikap
Keagamaan yang Menyimpang
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran
agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap
dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai
luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan
sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural. Dengan
demikian sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan
dimaksud.
Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari
tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi .
Sikap keagamaan menyimpang terjadi bila
sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang
dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada
orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat .
sedangakan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang
mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar`at:17). Dengan
demikian sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap
tidak selalu berkondisi buruk.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari
tradisi keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu
pemikiran dan gerakan pembaharuan, seperti halnya Martin Luther. Demikian pula
Sidharta Gautama yang meninggalkan agama Hindu kemudian menjadi pelopor
lahirnya agama Budha. Keduanya merupakan contoh dari sekian banyak kasus sikap
keagamaan yang menyimpang, namun yang positif.
Selain itu tak kurang pula kasus-kasus
negatif yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang ini. Sikap
kurang toleran, fanatisme, fundamentalis maupun sikap menentang merupakan sikap
keagamaan yang menyimpang. Seseorang atau kelompok penganut suatu agama mungkin
saja bersikap kurang toleran terhadap agama lain, ataupun aliran lain yang
berbeda dari aliran agama yang dianutnya. Demikian pula misalnya terjadi sikap
fanatik yang menyebabkan seseorang atau kelompok beranggapan bahwa hanya agama
yang dipeluknya saja sebagai yang paling benar. Selain itu dapat pula terjadi sikap yang
fundamentalis berupa sikap menentang terhadap agama yang berbeda dengan agama
yang mereka anut.
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti
itu merupakan masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan
yang negatif dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi,
seperti sikap regresif (menarik diri) hingga ke sikap
yang demonstratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang
untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama.
Perseteruan antar agama yang terjadi seperti peristiwa Perang Salib, munculnya
gerakan IRA di Inggris (Irlandia Utara), hingga ke aliran-aliran keagamaan yang
dianggap menyimpang misalnya Children of God di Amerika maupun sekte
kiamat di Jepang yang menamakan kelompoknya Aum Shinrikyo (Kebenaran Tertinggi)
baru-baru ini.
Selain dalam bentuk kelompok, sikap
keagamaan yang menyimpang juga dapat terjadi pada orang per orang. Dan biasanya
sikap keagamaan yang menyimpang dalam bentuk kelompok aliran ataupun sekte
biasanya berawal dari pengaruh sikap seorang tokoh. Seorang yang mempunyai
pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari
tingakt pikir yang transenden (Kasmiran Wuryo:104).
Masalah yang menyangkut sikap keagamaan
ini umumnya tergantung hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan dan
keyakinan. Kepercayaan adalah tingkat pikir manusia dalam megalami proses
berpikir yang telah dapat membebaskan manusia dari segala unsur-unsur yang
terdapat di luar pikirannya. Sedangkan keyakinan adalah suatu tingkat pikir
yang dalam proses berpikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan
ajaran agama sebagai penyempurnaan proses dan pencapaian kebenaran dan
kenyataan yang terdapat diluar jangkauan pikir manusia (Kasmiran Wuryo:104).
Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara emperik
sulit dibuktikan secara nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu pengaruh
yang ditimbulkannya terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis.
Pengaruh tingkat pikir ini memang memiliki variasi yang luas misalnya aliran
seperti sekularisme, liberalisme, sosialisme, fasisme, materialisme, dan
sebagainya. Tetapi diluar itu ada juga pengaruh terhadap tingkat pikir yang
lain seperti totimisme, magico, mistisisme, animisme, dinamisme, polytheisme
maupun monotheisme. Tingkat pikir yang kedua ini disebut dengan tingkat pikir
atau tingkat berpikir transendental religius (Kasmiran Wuryo:105)
Sikap keagmaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi
penyimpangan pada kedua tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat
memberinkepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila
tingkat pikir tersebut mencapai tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak
sejalan dengan ajaran agama tertentu maka akan terjadi sikap keagamaan yang
menyimpang, baik dalam diri orang per orang (individu) maupun kelompok ataupun
masyarakat. Sebab sikap memiliki sasaran
tertentu baik kongkret maupun abstrak (Mar`at:18).
Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan
yang cukup rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan
gejolak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tak jarang ikut
mempengaruhi politik suatu negara, jika sikap menyimpang tersebut sudah
mempengaruhi sikap sosial. Lebih-lebih jika menyimpang tersebut sudah mencapai
tingakat intensitas ekstern negatif, karena kualitas dan intensitas sikap yang
menggambarkan konotasi komponen efeksi cenderung mengarah kepada tingkah laku
yang berdasarkan kualitas nasional (Mar`at:17). Dengan demikian sikap keagamaan
yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang
lebih kuat ketimbang aspek rasional
D.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang
Menyimpang
Sikap berfungsi untuk menggugah motif
untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk tingkah laku nyata (overt behavior)
maupun tingakah laku tertutup (cover behavior). Dengan demikian sikap
mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk
nyata dan terselubumg. Karena sikpa diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh
lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit (Mar`at:18).
Terjadinya sikap keagamaan yang
menyimpang berkaitan erat dengan perubahan sikap. Beberapa teori psikologis
mengungkapkan perubahan sikap tersebut anatara lain teori stimulus dan respons,
teori pertimbangan sosial, teori konsistensi dan teori fungsi (Mar`at:26-47).
Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan respons yang
memandang manusia sebagai organimisme menyamakan perubahan sikap dengan proses
belajar. Menurut teori ini ada tiga variabel yang mempengaruhi terjadinya
perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan (Mar`at:27).
Mengacu kepada teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian
terhadap sesuatu obyek dan memahami obyek dimaksud serta menerimanya, maka akan
terjadi perubahan sikap. Obyek itu sendiri menurut teori ini harus difungsikan
sebagai stimulus agar dapat merespons perhatian, pengertian serta penerimaan
oleh seseorang atau kelompok. Jadi perubahan sikap sepenuhnya bergantung pada
kemampuan lingkungan untuk menciptakan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi
dalam bentuk respons. Hal ini menunjukkan untuk mengubah sikap diperlukan
kemampuan untuk merekayasa obyek sedemikian rupa hingga menarik perhatian,
memberi pengerian hingga dapat diterima.
Dalam kaitannya dengan sikap keagamaan
yang menyimpang maka pengaruh stimulus yang relavan adalah segala bentuk obyek
yang berhubungan dengan keagamaan. Misalnya saja didalam suatu masyarakat
muncul aliran-aliran keagamaan tertentu yang berbeda dengan tradisi keagamaan
yang berjalan. Kehadiran aliaran tersebut kemudian menarik perghatian sehingga
terdorong untuk mengetahuinya lebih jauh. Hasil dari proses itu kemungkinan
dapat memberi pengertian baru bagi mereka yang terlibat. Bila ada diantara yang
ikut terlibat mempelajari aliran tersebut merasa ada manfaat bagi dirinya,
mereka akan menerimanya sedangkan bagi yang menggapnya tidak bermanfaat akan
menolaknya. Kelompok yang pertama biasanya akan melangkah ke tingkat penerimaan
dengan demikian akan terjadi perubahan pada diri mereka dalam menyikapi aliran
baru yang mereka terima itu. Dilihat dari sudut tradisi keagamaan yang berlaku,
sikap mereka ini dapat dikelompokkan sebagai sikpa keagamaan yang menyimpang.
Selanjutnya teorin kedua yaitu teori
pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial.
Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah: 1)persepsi sosial; 2)posisi sosial dan
proses belajar sosial. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas: 1)faktor
penguatan (reinforcement); 2)komunikasi persuasif; dan 3) harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh
keputusan-keputusan sosial sebagai hasil interaksi faktor internal dan
eksternal (Mar`at:35-36).
Perubahan sikap dalam kaitannya dengan
sikap keagamaan yang menyimpang merujuk kepada teori pertimbangan sosial ini
tampaknya menyangkut faktor status sosial seseorang dalam masyarakat.
Penyimpangan sikap keagamaan yang dipengaruhi oleh status sosial ini cenderung
dilatarbelakangi harapan untuk mengembalikan kedudukan didalan masyarakat.
Misalnya seseorang yang semula dihormati dalam masyarakat kemudian mendapat
saiangan dari tokoh lain. Karena kalah dalam persaingan tersebut pandangan
masyarakat beralih kepada tokoh pendatang baru. Maka untuk mengembalikan status
yang pernah diperolehnya kemungkinan besar ia cenderung untuk melakukan suatu
yang menyimapng guna menarik kembali perhatian masyarakat, yaitu untuk mengisi
kekosongan wibawa yang hilang.
Dialin pihak kemungkinan pula sikap
keagamaan yang menyimpang ditampilkan seseorang tokoh dalam masyarakat dalam
bentuk positif, atas dasar pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti ini terlihat dalam kasus pembaharuan
pemikiran agama keagamaan. Para tokoh reformer (munjaddid) umumnya
menampilkan sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang
berjalan dimasyarakat. Sikap keagamaan yang menyimpang seperti ini dalam
sejarah keagamaan umumnya diakhiri dengan munculnya kelomp[ok baru yang mampu
mengubah tatanan tradisi keagamaan yang ada. Beberapa contoh yang mengacu
kepada kasus ini antara lain seperti yang dilakukan oleh Sidharta Gautama,
Martin Luther, Kaisar Konstantin, dan sejumlah tokoh pembaharuan dalam
pemikiran keagamaan lainnya.
Teori
yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebi
ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap
dan perbuatan. Oleh karena itu teori konsistensi ini oleh Fritz Heider disebut
balance theory (Mar’at:37), Osgood dan Tannenbaum menamakan conguity
(keharmonisan), Festinger menyebutkan cognitive dissonance, serta Brohm
menamakannya reactance (Mar’at:37-47). Walaupun berbeda dalam penamaan, namun
intisari dari teori konsistensi ini adalah bahwa perubahan sikap merupakan
proses yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk mendapatkan
keseimbangan antara sikap dan perbuatan. Berdasarkan berbagai pertimbangan,
maka seseorang kemudian memilih sikap tertentu sebagai dasar untuk bereaksi
atau bertingkah laku.
Dalam
kehidupan keagamaan barangkali perubahan sikap ini berhubungan dengan konversi
agama. Seseorang yang merasa bahwa apamyang dilakukan sebelumnya adalah keliru,
berupaya untuk mempertimbangkan sikapnya. Pertimbangan tersebut melalui proses
dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan. Keempat fase
dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
1. Munculnya
pesoalan yang dihadapi.
2. Munculnya
beberapa pengertian yang harus dipilih.
3. Mengambil
keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
4. Terjadi
keseimbangan.
Perubahan
sikap seperti ini menurut Heider dilatar belakangi oleh perasaan senang dan
tidak senang, sedangkan Osgood dan Tannenbaum menekankan pada penyamaan persepsi,
Festinger lebih menekankan pada peran Kognitif seperti halnya Brohm. Mengacu
kepada teori ini perubahan sikap yang meyangkut kehidupan beragama dapat
terjadi oleh karena adanya pengaruh dalam diri seseorang, pengaruh tersebut
menimbulkan persoalan hingga terjadi ketidak seimbangan dalam batinnya. Untuk
mengembalikan agar terjadi keseimbangan seperti semula, maka dilakukan
pemilihan dari berbagai alternatif yang memungkinkan. Pemilihan alternatif
dapat didasarkan atas pertimbangan aspek efektif maupun kognitif. Pilihan yang
terbaik biasanya adalah yang paling cocok dan dapat memberi kestabilan pada
diri seseorang. Kondisi tersebut dapat menimbulkan keharmonisan dan
keseimbangan.
Perubahan
sikap yang dihubungkan dengan sikap keagamaan yang menyimpang menurut teori
konsistensi ini terdapat dalam kasus-kasus konversi agama. Konversi pada
dasarnya bersumber dari konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik tadi
pada tingkat tertentu menimbulkan semacam kegelisahan batin sebagai persoalan
yang harus mendapat pemecahan. Selanjutnya timbul beberapa kemungkinan untuk
dijadikan pertimbangan dalam menemukan jalan keluar. Pemilihan jalan keluar
yang cocok dan tepat biasanya adalah yang paling dapat memberikan ketenangan
batin bagi yang bersangkutan.
Menurut
teori fungsi perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang.
Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu
senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya (Mar’at:49).
Katz berpendapat bahwa sikap memiliki empat fungsi, yaitu:1) fungsi
instrumental; 2) fungsi pertahanan diri; 3) fungsi penerima dan pemberi arti;
dan 4) fungsi nilai ekspresif.
Berdasarkan
fungsi instrumental, manusia dapat membentuk sikap positif maupun negatif
terhadap obyek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri berperan untuk
melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerima dan pemberi arti
berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya fungsi nilai
ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar bagaiman sikap
seseorang atau kelompok terhadap sesuatu.
Teori
fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung
secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyeimbangan diri dengan
lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Problematika keimanan adalah
perbedaan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang terjadi mengenai sesuatu
yang menyangkut keimanan seseorang. Faktor penyebab problematika keimanan,
antara lain sebagai berikut:
1.
Faktor internal yang mempengaruhi
perubahan sikap adalah:
a.
Persepsi sosial;
b.
Posisi
sosial dan proses belajar sosial.
2. Faktor
eksternal terdiri atas:
a.
Faktor
penguatan (reinforcement);
b.
Komunikasi
persuasif; dan 3) harapan
yang diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin.
1997. Psikologi Agama. Jakarta :
RajaGrafindo persada
Komentar
Posting Komentar